Rabu, 31 Oktober 2012

Asbabul Wurud

Selasa, 06 Juli 2010
makalah asbab wurud al-hadits
2.1 Pengertian Asbab Wurud Al Hadits
Kata Asbab adalah bentuk jamak dari kata Sabab (Arab: Asbab = sebab). Menurut ahli bahasa diartikan dengan “Al Habl” (tali) yang menurut lisan arab berarti “saluran” yang artinya segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda yang lainnya. Para ahli istilah memaksudkannya sebagai segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.
Ada juga yang mendefinisikan dengan, “jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukm itu.”
Adapun arti wurud (sampai, muncul) adalah sebagai berikut:
Para ahli mengatakan bahwa al-wurud berarti “air yang memancar, atau air yang mengalir”. Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuthi memaparkan pengertian asbab wurud al-hadits dengan, “Sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkaitan, dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayad, dinasakhkan, dan seterusnya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya.”
Dari pengertian asbab wurud al hadits seperti di atas, dapat disimpulkan pengertian ilmu Asbab Wurud Al Hadits, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Rasulullah SAW menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda Rasulullah SAW tentang suci dan mensucikannya air laut, yaitu “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” . Hadits ini dituturkan oleh Rasulullah ketika seorang sahabat yang sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan untuk berwudhu.
Urgensi Asbab Wurud Al Hadits terhadap hadits sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadits, sama halnya dengan urgensi Asbab Nuzul Al Qur’an terhadap Al Qur’an. Penting diketahui, karena ilmu ini menolong kita dalam memahami hadits, sebagaimana ilmu Asbabu Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran.
Tidak semua hadits mempunyai asbabul wurud, sebagian hadits ada yang mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas na.mun sebagain lainnya tidak. Untuk kategori pertama mengetahui asbabul wurud mutlak di perlukan agar terhindar dari kesalafahaman dalam menangkap maksud hadits .

2.2 Faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits
Dari definisi yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui faedah-faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits,.yakni membatasi arti suatu nash hadits dalam segi-segi berikut ini:
a. Takhshish al-’ Am (Mentakhsiskan (mengkhususkan) arti yang umum)
Ini terlihat dalam hadits dibawah ini:
“Pahala orang yang shalat dengan duduk, setengah dari shalat orang yang berdiri”.
Makna yang terkandung dalam hadits ini bersifat umum, untuk semua orang yang shalat. Padahal kalau kita lihat sebab-sebab lahirnya hadits tersebut melalui riwayat ‘Abdullah Ibnu ‘Umar yang artinya:
“Kami memasuki kota Madinah, dan secara mendadak kami diserang perasaan letih yang demikian hebat. Maka sebagian besar dari kami shalat di tempat shalat kami masing-masing dengan duduk. Kemudian keluarlah Rasulullah SAW di terik matahari yang menyengat itu, sementara orang-orang tetap shalat ditempatnya masing-masing dengan duduk. Lalu beliau pun bersabda: “Pahala orang yang shalat dengan duduk setengah dari pahala orang yang shalat dengan berdiri.”
Dari hadits ini jelas bahwa hadits tersebut mengandung maksud khas yang ditujukan kepada mereka yang mampu berdiri.
Sejalan dengan itu, ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat dengan duduk hanya disaat menjelang wafat beliau”.
Hal serupa itu, kita temukan pula pada hadits Nabi yang berkenaan dengan pelarangan beliau terhadap menyewakan ladang-ladang, yang kalau tidak telusuri sebab-sebab munculnya hadits ini, niscaya kita tetap menetapkan hukum umum pada hadits tersebut, dan ini pasti akan membuat susah semua orang.
Hadits yang dimaksud diatas, adalah diriwayatkan oleh Ahmad dari Urwah Ibn az-Zubair, ia berkata:
Zaid bin Tsabit berkata: Semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij, saya, Demi Allah, adalah orang yang lebih tahu tentang hadits itu. Sesungguhnya telah datang dua orang yang habis berkelahi kepada Rasulullah SAW. Maka beliau pun lalu berkata: “Kalau demikian kalian, maka janganlah kalian menyewakan ladang-ladang”.
b. Taqyid al-Muthlaq (Membatasi arti yang mutlak)
Ini dapat ditemukan dalam hadits berikut:
“Barangsiapa merintis perbuatan yang baik, lalu diamalkannya, dan diamalkan oleh orang-orang yang sesudahnya, maka ia akan memperoleh pahala untuk itu, ditambah pula dengan pahala orang-orang yang mengamalkan sunahnya itu sesudah ia, tanpa dikurangi barang sedikit pun. Dan barangsiapa merintis perbuatan jahat, lalu ia kerjakan, dan dikerjakan pula oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan memperoleh dosa untuk itu, ditambah dengan dosa-dosa yang melakukan perbuatan itu sesudahnya, tanpa dikurangi sedikit pun.
“Sunnah” (perbuatan) yang dimaksud hadits tersebut di atas, baik sifatnya baik maupun buruk, adalah bersifat mutlak, mencakup perbuatan-perbuatan yang memiliki nash landasan hukum dalam ajaran agama dan yang tidak ada landasan hukumnya. Lalu sebab-sebab munculnya hadits ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “sunnah”(perbuatan) dalam hadits tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang ada nash-nya dalam Islam.

c. Tafshil al-Mujmal (Merinci yang mujmal (global))
Ini dapat ditemukan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kepada Bilal agar menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqomah (qamat).
Manthuq(redaksi) hadits ini tidak sesuai dengan kesepakatan para ulama tentang jumlah takbir yang empat kali, dan dua kali dalam iqamat.
Akan tetapi setelah kita temukan sebab-sebab munculnya hadits ini yang diperoleh dari riwayat Abu Daud dalam sunan-nya, dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari hadits ‘Abdullah bin Zaid maka menjadi jelaslah persoalannya.
Jadi setelah kita temukan sebab-sebab munculnya hadits ini, nyatalah bahwa kandungan artinya bersifat mujmal (global), serta menunjukkan prinsip yang dipegangi para ulama, dalam pandangan mereka tentang mengulang takbir empat kali dalam adzan, dan dua kali dalam iqamat.

d. Menentukan persoalan “naskh” dan menjelaskan nasikh dan mansukh
Hal seperti ini ditemukan dalam hadits sebagai berikut:
“Imam itu untuk diikuti, oleh sebab itu janganlah kamu sekalian mendahuluinya. Jika ia takbir, maka takbirlah kamu sekalian, dan jika ia ruku’,ruku’ pulalah kalian. Dan manakala ia megucapkan “sami’allahu liman hamidah” maka ucapkanlah:” Allahumma Rabbana lakal hamd”. Lalu jika ia sujud, maka sujudlah kamu sekalian, dan kalau ia shalat dengan duduk, maka shalat pulalah kamu sekalian dengan duduk”.
Tentang hadits tersebut di atas, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadits ini dihapus (mansukh) oleh hadits lain yang diterima dari Aisyah yang menyatakan bahwasanya Rasulullah SAW shalat bersama kaum Muslimin pada saat beliau sakit menjelang wafatnya dengan duduk, sedangkan kaum Muslimin shalat dengan berdiri”.
Padahal Asbab Wurud Hadits ini jelas meniadakan hukum naskh (penidakberlakuan) pada hadits tersebut.
Imam Muslim dalam Shahih-nya mengeluarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas, ia berkata: “Nabi SAW terjatuh dari kudanya sehingga terkelupas kulit betis beliau yang sebelah kanan. Kami lalu menjenguk beliau dan waktu shalat pun tiba. Maka beliau lalu mengimami shalat bersama kami dengan duduk, sedangkan kami tetap shalat dengan duduk pula. Dan seusai shalat, beliau bersabda:
“Sesungguhnya Imam itu untuk diikuti, oleh sebab itu janganlah kamu sekalian mendahuluinya. Jika ia takbir, maka takbirlah kamu sekalian, dan jika ia ruku’,ruku’ pulalah kalian. Dan manakala ia megucapkan “sami’allahu liman hamidah” maka ucapkanlah:” Allahumma Rabbana lakal hamd”. Lalu jika ia sujud, maka sujudlah kamu sekalian, dan kalau ia shalat dengan duduk, maka shalat pulalah kamu sekalian dengan duduk”.
Dengan tiada naskh ini, maka berlaku pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mempertemukan dua hadits tersebut dengan mengemukakan dua alternatif berikut:
Pertama : Manakala imam yang biasa diikuti itu memulai shalatnya dengan duduk lantaran sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya, maka saat itu makmum harus shalat dengan duduk.
Kedua : Kalau imam yang diikuti itu sejak semula shalat dengan berdiri, baik dalam kenyataannya nanti ia shalat dengan duduk ataukah berdiri, lantaran sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya seperti yang terdapat dalam hadits yang berkenaan dengan sakit beliau menjelang wafatnya. Ketetapan yang diberikan oleh Rasulullah SAW agar para sahabatnya tetap shalat dengan berdiri di saat beliau sakit menjelang wafatnya itu, membuktikan bahwa Nabi tidak memerintahkan mereka shalat dengan duduk, sebab saat itu Abu Bakar memulai shalatnya dengan berdiri, yang berbeda dengan situasi yang terdapat dalam hadits pertama dimana shalat itu dimulai dengan duduk, yang karena itu pula di saat para sahabat shalat dengan berdiri, beliau pun melarangnya.
Sejalan dengan itu, asy-Syaukani menegaskan pendapatnya dengan mengatakan:
“Mempertemukan kedua hadits itu (al-jam’u)menguatkan pendapat bahwa secara prinsipil tidak ada naskh disini, apalagi dalam keadaan ini diberlakukan dua kali naskh, sebab dalam prinsipnya seorang yang mampu shalat sambil berdiri tidak dibenarkan shalat dengan duduk. Pendapat di atas telah menidakberlakukan shalat makmum yang duduk di belakang imam yang duduk, lalu sesudah itu, ia dinaskh pula dengan hadits lain yang melarang shalat dengan duduk, sehingga terjadi dua kali penidakberlakuan, dan ini jelas tidak mungkin bisa diterima.
e. Menerangkan ‘illat (alasan) suatu hukum
Hal seperti ini dapat ditemukan misalnya dalam hadits yang berkenaan dengan pelarangan Rasulullah SAW terhadap minum air langsung dari mulut bejana.
Adapun sebabnya adalah : Suatu saat disampaikan kepada Rasulullah bahwa ada seorang laki-laki minum langsung dari mulut bejana, lalu ia pun sakit perut (mules-mules). Maka beliau pun lalu melarang minum langsung dari mulut bejana.
f. Menjelaskan Kemusykilan
Ini dapat ditemukan dalam hadits berikut ini:
“Barangsiapa yang mempercayai “perhitungan”, niscaya disiksa di hari kiamat”.
Adapun sebab-sebab munculnya hadits ini adalah bahwa Aisyah meriwayatkan, ia berkata:
“Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang dihisab, niscaya ia disiksa di hari kiamat. Lalu Aisyah berkata: “Bukankah Allah berfirman: “Maka ia akan dihitung dengan perhitungan yang mudah”? Dan beliau menjawab: “Bukan, itu hanya formalitas”. Jadi, “Barangsiapa dihisab, ia akan disiksa”.
Dari uraian faedah-faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits di atas dapat disimpulkan antara lain, sebagai berikut:
1. Untuk menolong memahami dan menafsirkan hadits. Sebab sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu merupakan sarana untuk mengetahui musabab (akibat) yang ditimbulkannya. Seseorang tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu hadits secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab dan keterangan-keterangan tentang latar belakang.
2. Sebagaimana diketahui dalam lafadz nash itu kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang bersifat umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang men-takhsiskannya. Akan tetapi dengan diketahui sebab-sebab lahirnya nash itu, maka takhsis yang menggunakan selain sebab, harus dihilangkan. Sebab memasukkan takhsis yang terbentuk sebab ini adalah qath’i, sedang mengeluarkan takhsis sebab, adalah terlarang secara ijma’.
3. Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat (hukum-hukum)
4. Untuk mentakhsiskan hukum, bagi orang yang berpedoman kaidah Ushul-Fiqih “al-‘ibratu bikhusushi’s sabab” (mengambil suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus). Biarpun menurut pendapat Ushuliyun berpedoman dengan “al-‘ibratu bi’umumi’l-lafadh, la bikhususi’s sabab”(mengambil suatu ibarat itu hendaknya berdasar pada lafadz yang umum, bukan sebab-sebab yang khusus).

2.3 Cara mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits
Di antara maudlu’ pokok dalam ilmu Asbab Wurud Al Hadits, ialah pembicaraan tentang cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits.
Cara-cara mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu hanya dengan jalan riwayat saja. Karena tidak ada jalan lain bagi logika.
Menurut penelitian Al Bulqiny, bahwa sebab-sebab lahirnya hadits itu ada yang sudah tercantum di dalam hadits itu sendiri dan adapula yang tidak tercantum dalam hadits sendiri, tapi tercantum di hadits lain.
Menurut As-suyuthi ada tiga metode dalam mengetahui asbabul wurud:
1. Dengan mengetahui sebab yang berupa ayat Al-Quran.
2. Sebab yang berupa hadits itu sendiri.
3. Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat

Sebagai contoh Asbab Wurud Al Hadits yang tercantum dalam hadits itu sendiri, seperti hadits Abu Dawud yang tercantum dalam kitab sunannya, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudry. Kata Abu Sa’id:
“Bahwa beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW : ‘Apakah Tuan mengambil air wudhu’ dari sumur Budla’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing, dan barang-barang busuk’? Jawab Rasulullah: ‘Air itu suci, tak ada sesuatu yang menjadikannya najis’.”
Sebab Rasulullah saw. bersabda, bahwa air itu suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan dalam rangkaian hadits itu sendiri.
Contoh Asbab Wurud yang tidak tercantum dalam rangkaian hadits itu sendiri, tetapi diketahui dari hadits yang terdapat di lain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti hadits Muttafaq-‘alaih tentang niat dan hijrah, yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar r.a:
“...Barangsiapa yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang bakal dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada yang diniatkannya saja.”
Asbab Wurud dari hadits tersebut di atas, kita temukan pada hadits yang di takhrijkan oleh At-Thabrany yang bersanad tsyiqoh dari Ibnu Mas’ud r.a ujarnya:
“Konon pada jama’ah kami terdapat seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan yang bernama Ummu Qais. Tetapi perempuan itu menolak untuk dinikahinya, kalau laki-laki pelamar itu enggan berhijrah ke Madinah. Maka ia lalu hijrah dan kemudian menikahinya. Kami namai laki-laki itu, Muhajir Ummi Qais.”

2.4 Pembagian Asbab Wurud Al Hadits

Dengan mengikuti uraian tentang Asbab Wurud munculnya suatu hadits, dapat disimpulkan bahwa penyebab-penyebab itu terbagi dalam beberapa bagian berikut ini:

Bentuk Pertama: Berupa Ayat Al Qur’an
Hal ini disebabkan turunnya ayat-ayat Al Qur’an yang memiliki bentuk umum, namun yang dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus semisal yang terdapat dalam firman Allah ini:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al An’am:82)
Sementara sahabat Rasulullah saw memahami ayat ini dengan menganggap bahwasanya yang dimaksud dengan “zhulm” (dzalim) di situ adalah aniaya dan melanggar batas ajaran agama. Lantaran itulah mereka lalu mengadu kepada Rasulullah saw, maka beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan itu adalah “syirik” (menyekutukan Allah).

Imam Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Malik dalam Al Muwatha’ meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud:
“Ketika turun ayat: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan dengan kezhaliman...”(QS Al An’am:82 di atas), maka para sahabat merasa berat dan berkata: “Siapa pula diantara kita yang tidak merasa mencampur adukkan keimanan dengan kedzaliman?” Lalu Rasulullah mengatakan: “Bukan itu maksudnya, tidakkah kamu sekalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya bahwa: sesungguhnya syirk itu adalah kedzaliman yang amat besar” (QS. Luqman:13)
Atau lantaran adanya kemusykilan yang membutuhkan penjelasan, semisal hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah terdahulu.

Bentuk kedua : Berupa Hadits
Ini dapat ditemukan dalam ucapan Rasulullah saw yang sulit dipahami oleh sementara sahabat, lalu beliau menjelaskannya melalui hadits lain yang menjawab kemusykilan itu. Untuk menjelaskan hal itu dikemukakan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al Hakim dari Anas ra. Katanya:
“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat di dunia yang berbicara melalui lisan anak-cucu Adam tentang apa yang baik dan buruk dalam diri seseorang.”
Hadits yang bentuk redaksinya seperti ini sangat sulit dipahami, sebab bagaimana cara malaikat itu berbicara di dunia tentang baik dan burunya seseorang. Oleh sebab itu, sebab-sebab munculnya hadits lain di bawah ini, mengandung maksud menjelaskan kemusykilan itu.
“Dari Anas ra. Katanya: Tatkala ada prosesi jenazah lewat dihadapan beliau dan para sahabat memuji-muji kebaikan orang yang meninggal itu. Maka Rasulullah saw berkata: “Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”. Lalu lewat pulalah jenazah yang lain dan para sahabat membicarakan kejelekan orang yang meninggal itu. Maka Rasulullah saw pun berkata pula:”Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”
Mendengar itu para sahabat lalu bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah apa makna ucapan tuan tentang jenazah tadi? Ketika yang seorang dipuji kebaikannya dan seorang lagi disebut-sebut keburukannya, tuan mengatakan: Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”
Maka Rasulullah saw menjawab:
“Memang benar Ya Abu Bakar, Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat di dunia yang berbicara melalui lisan anak-cucu Adam tentang apa yang baik dan buruk dalam diri seseorang.”

Bentuk Ketiga: Merupakan persoalan yang berkenaan dengan penjelasan bagi para sahabat yang mendengarkan saat itu.
Ini dapat ditemukan misal dalam persoalan yang berkenaan dengan As Suraid yang datang kepada Rasulullah saw ketika pembebasan kota Makkah (Fath Makkah) lalu berkata kepada beliau: “Saya bernadzar manakala Allah memberikan keberhasilan kepada tuan dalam membebaskan kota Makkah, saya akan shalat di Baitul Maqdis”. Mendengar itu Rasulullah pun berkata: “Shalat di sini jauh lebih baik”. Kemudian beliau mengatakan:
“Demi dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau seandainya engkau shalat di mesjid ini, niscaya diperbolehkan”. Lalu selanjutnya beliau berkata pula: “Shalat di mesjid ini (Masjidil Haram) seratus ribu kali lipat lebih baik dibanding shalat di mesjid-mesjid lain.”

Bila ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadits satu sama lain, maka “Wurud al Hadits” ini dapat dibagi dalam dua jenis:
 Bila Asbab Wurud al Hadits ini bersambung dengan haditsnya, maka ia dinukil dari hadits itu. Tentang ini, Al Balqini mengatakan mengatakan: semisal hadits yang berkenaan dengan pertanyaan malaikat Jibril.
 Bila “Wurud al Hadits” nya terpisah dari hadits itu, maka ia dinukil melalui jalan yang lain. Tentang ini Al Balqini mnegatakan pula : Dan keadaan semacam inilah yang mesti diperhatikan dengan cermat. Lalu dicontohkannya hadits “al-kharaj” (pajak tanah) dengan adh-dhiman (jaminan).

2.5 Sejarah Asbab Wurud Al Hadits

Memperhatikan atsar (data) yang diperoleh dari para ulama salaf, semenjak masa sahabat sampai masa kita dewasa ini, jelaslah sudah bahwa ilmu itu terhitung telah lama ada
Kuat dengan bahwasanya ilmu ini telah ditanamkan benih-benihnya di masa sahabat dan tabi’in.
Kisah yang dituturkan oleh Az Zarkasyi dalam al Burhan-nya yang berkenaan dengan firman Allah: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh lantaran telah memakan makanan mereka dulu” (QS Al Maidah: 92) makin memperjelas kenyataan itu .
Az Zarkasyi menuturkan, disebut –sebut bahwa Qudamah bin Mazh’un dan Amr’ bin Ma’dikarib berkata: Khamr itu mubah dan mereka berdua beralasan dengan ayat tersebut di atas yang mereka ketahui sebab turunnya ayat tersebut, yang sesungguhnya menolak pendapat mereka yakni, apa yang dikemukakan oleh al Hasan dan ulama lainnya berikut ini:
“Di saat turun ayat yang mengharamkan khamr, para sahabat bertanya-tanya: “Bagaimana halnya dengan saudara-saudara kita yang telah meninggal dan mereka pernah minum khamr, sedangkan Allah telah mengemukakan bahwa khamr itu haram”. Maka Allah pun menurunkan ayat:” Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih lantaran telah memakan makanan mereka dulu” (QS. Al Maidah:92)
Bertolak dari riwayat tersebut, maka jelaslah kebenaran pernyataan As Sayuthi, yakni bahwasanya objek kajian ini merupakan salah satu di antara Ilmu-ilmu Hadits yang sejak awal telah memperoleh perhatian baik dari para ulama.
Mengenai kapan dimulainya penyusunan buku-buku yang berkenaan dengan masalah ini, maka hal itu merupakan suatu persoalan yang hanya dapat kita jawab melalui referensi-referensi yang mat langka sekali, sebab Thas Kubri Zadah penulis kitab Miftah al Sa’adah menuturkan bahwa ada beberapa karya tulis dalam disiplin ilmu ini, namun ia sendiri belum pernah melihatnya.
Hanya saja, As Sayuti menuturkan dengan menukil adz Dzahabi dan Ibnu Hajar yang menyatakan adanya beberapa obyek ini, yakni:
1. Karya Abi Hafsh al Akbari (wafat 399 H) yang sampai saat ini belum diketahui sdikitpun kecuali hanya namanya saja.
2. Karya Abu Hamid Abdul Jalil al Jubari yang juga sampai saat ini hanya diketahui namanya saja.
Dalam point yang dikemukakan oleh As Sayuti yang berkenaan dengan jenis-jenis ilmu, yakni dalam “jinis ke-89” disebut-sebut ilmu “Asbab Wurud al Hadits” (Sebab Lahirnya sebuah Hadits): Cabang ilmu ini disebutkan al Balqini dalam Mahasin al Ishtilah dan oleh Syeikhul Islam dalam an-Nukhah, dimana dalam ilmu ini ada karya Abu Hafs al Akbari dan Abu Hamid bi Kutah al Jubari, dan tidak ada yang lebih tua lagi dari karya itu.
3. Karya As Sayuti, al- Luma’ Fi Asbab Wurud al Hadits, yakni risalah yang kami edit dan kaji ini.
4. Karya Abi Hamzah al Dimayqi, al Bayan Wa at-Ta’rif Fi Asbab Wurud al Hadits asy-Syarif.


BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Asbabul Wurud : ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu.
Faedah Asbab Wurud al Hadits, antara lain mentakhsis arti umum, membatasi arti yang mutlak, menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.
Cara-cara mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu hanya dengan jalan riwayat saja. Karena tidak ada jalan lain bagi logika.
Pembagian atau bentuk-bentuk Asbab Wurud al Hadits :
 Bentuk Pertama: Berupa Ayat Al Qur’an
 Bentuk kedua : Berupa Hadits
 Bentuk Ketiga: Merupakan persoalan yang berkenaan dengan penjelasan bagi para sahabat yang mendengarkan saat itu

Memperhatikan atsar (data) yang diperoleh dari para ulama salaf, semenjak masa sahabat sampai masa kita dewasa ini, jelaslah sudah bahwa ilmu itu terhitung telah lama ada




DAFTAR PUSTAKA

 Al hafidz Jalaludin As-Sayuthi. 1406 H-1985 M. “Asbab Wurud Al-Hadits Proses Lahirnya Sebuah Hadits”. Bandung: Pustaka
 Fatchur Rahman, 1974.”Ikhtisar Musthalahu’l Hadits”.Bandung:PT Al Ma’arif
 Mudasir &Maman Abdul Djaliel.1999.”Imu Hadits”.Badung:CV.Pustaka setia
 Munzier Suparta&Utang Ranuwijaya.1996.”Ilmu Hadits”.Jakarta:PT. Raja Gafindo Persada
 Muhamad Ahmad&M.Mudzakir.2000.”Ulumul Hadis”.Bandung:CV Pustaka Setia
 http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--sitifatima-2712
 http://insansejati.com/ilmu-hadits/54-asbabul-wurud.html
 http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/56
 http://kampungsunnah.org

Kamis, 04 Oktober 2012

Asas Pendidikan


MAKALAH
ASAS PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen : Bpk. Wahyudin. Drs. M.Ag

Unwir PAI

Oleh :
Kelompok 8
Q       Dewi Indriyani
Q       Eko Wahyudin
Q       Feri Fahmi

       Semester 3-B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WIRALODRA INDRAMAYU
Jl. Ir. H Djuanda Km 3 Singaraja-Indramayu
2011

KATA PENGANTAR

            Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul: “ASAS PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN”. Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
            Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
            Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca.






Indramayu, 09 November 2011
                                                                                              

                                                                                                   Penulis




DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. i
Daftar Isi ....................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang…………………………………………................... 1
2.      Rumusan Masalah…………………………………………….......... 2
BAB II
PEMBAHASAN
a.       Asas-asas Pendidikan………………………………………............. 3
b.      Penerapan/penyelenggaraan asas pendidikan di Indonesia……........ 8
BAB III
Kesimpulan dan Saran………………………………………………............ 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 14












BAB I
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang
            Kemajuan Ilmu dan tegnologi, terutama teknologi informasi menyebabkan arus komunikasi menjadi cepat dan tanpa batas. Hal ini berdampak langsung pada bidang Norma kehidupan dan ekonomi, seperti tersingkirnya tenaga kerja yang kurang berpendidikan dan kurang trampil, terkikisnya budaya lokal karena cepatnya arus informasi dan budaya global, serta menurunnya norma-norma masyarakat kita yang bersifat pluralistik sehingga rawan terhadap timbulnya gejolak sosial dan disintegrasi bangsa.
            Adanya pasar bebas, kemampuan bersaing, penguasaan pengetahuan dan tegnologi, menjadi semakin penting untuk kemajuan suatu bangsa.Ukuran kesejahteraan suatu bangsa telah bergeser dari modal fisik atau sumber daya alam ke modal intelektual, pengetahuan, sosial, dan kepercayaan.
            Hal ini membutuhkan pendidikan yang memberikan kecakapan hidup (Life Skill), yaitu yang memberikan keterampilan, kemahiran, dan keahlian dengan kompetensi tinggi pada peserta didik sehingga selalu mampu bertahan dalam suasana yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif dalam kehidupannya. Kecakapan ini sebenarnya telah diperoleh siswa sejak dini mulai pendidikan formal di sekolah maupun yang bersifat informal, yang akan membuatnya menjadi masyrakat berpengetahuan yang belajar sepanjang hayat (Life Long Learning).









1.2. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membatasi diri dengan hanya mengkaji masalah-masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah Asas Pendidikan di Indonesia?
2.      Bagaimana Penerapan atau penyelenggaraan asas tersebut yang terjadi di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
            Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat dibuat tujuan penulisan sebagai berikut :
1.      Menjelaskan Asas-asas pendidikan
2.      Bagaimana Penerapan atau penyelenggaraan asas tersebut yang terjadi di Indonesia?



















                                                 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asas-Asas Pendidikan
            Sebelum kita membicarakan tentang asas-asas pendidikan yang berlaku di Indonesia, terlebih dahulu kita memiliki kesatuan pendapat tentang arti asas pendidikan. Asas pendidikan memiliki arti hukum atau kaidah yang menjadi acuan kita dalam melaksanakan kegiatan pendidikan. Dalam masalah ini, berturut-turut akan kita bicarakan dua asas pendidikan yang berlaku di Indonesia: (1) asas Tut Wuri Handayani, (2) asas Belajar Sepanjang Hayat, dan (3) asas Kemandirian Dalam Belajar.
1.      Asas Tut Wuri Handayani
            Asas Tut Wuri Handayani merupakan gagasan yang mula-mula dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara seorang perintis kemerdekaan dan pendidikan nasional. Tut Wuri Handayani mengandung arti pendidik dengan kewibawaan yang dimiliki mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, tidak menarik-narik dari depan, membiarkan anak mencari jalan sendiri, dan bila anak melakukan kesalahan baru pendidik membantunya (Hamzah, 1991:90). Gagasan tersebut dikembangkan Ki Hajar Dewantara pada masa penjajahan dan masa perjuangan kemerdekaan. Dalam era kemerdekaan gagasan tersebut serta merta diterima sebagai salah satu asas pendidikan nasional Indonesia (Jurnal Pendidikan, No. 2:24).
            Asas Tut Wuri Handayani memberi kesempatan anak didik untuk melakukan usaha sendiri, dan ada kemungkinan mengalami berbuat kesalahan, tanpa ada tindakan (hukuman) pendidik (Karya Ki Hajar Dewantara, 1962:59). Hal itu tidak menjadikan masalah, karena menurut Ki Hajar Dewantara, setiap kesalahan yang dilakukan anak didik akan membawa pidananya sendiri, kalau tidak ada pendidik sebagai pemimpin yang mendorong datangnya hukuman tersebut. Dengan demikian, setiap kesalahan yang dialami anak tersebut bersifat mendidik. Menurut asas tut wuri handayani :
(1) Pendidikan dilaksanakan tidak menggunakan syarat paksaan,
(2) Pendidikan adalah penggulowenthah yang mengandung makna: momong, among, ngemong (Karya Ki Hajar Dewantara, hal. 13).
            Among mengandung arti mengembangkan kodrat alam anak dengan tuntutan agar anak didik dapat mengembangkan hidup batin menjadi subur dan selamat. Momong mempunyai arti mengamat-amati anak agar dapat tumbuh menurut kodratnya. Ngemong berarti kita harus mengikuti apa yang ingin diusahakan anak sendiri dan memberi bantuan pada saat anak membutuhkan,
(3) Pendidikan menciptakan tertib dan damai (orde en vrede),
(4) Pendidikan tidak ngujo (memanjakan anak), dan
(5) Pendidikan menciptakan iklim, tidak terperintah, memerintah diri sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri (mandiri dalam diri anak didik.[1]
     Asas tut wuri handayani, yang kini menjadi semboyan Depdikbud, pada awalnya merupakan salah satu dari “asas 1922” yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa (didirikan 3 juli 1922). Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari Sistem Among dari perguruan itu. Asas ataupun semboyan tut wuri handayani yang dikumandangkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu mendapat tanggapan positif dari Drs. R.M.P. Sostrokartono (filsuf dan ahli bahasa).
Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas, yakni:
1.      Ing ngarsa sung tulada (jika di depan, menjadi contoh),
2.      Ing madya mangun karsa (jika di tengah-tengah, membangkitkan kehendak, hasrat atau motivasi), dan
3.      Tut wuri handayani (jika di belakang, mengikuti dengan awas).
Agar diperoleh latar keberlakuan awal dari asas tut wuri handayani,perlu dikemukakan ketujuh asas Perguruan Nasional Taman Siswa tersebut. Seperti diketahui Perguruan Nasional Taman Siswa yang lahir pada tanggal 3 Juli 1992 berdiri diatas tujuh asas yang merupakan asas perjuangan untuk menghadapi Pemerintah Kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan sifat yang nasional dan demokrasi. Ketujuh asas tersebut yang secara singkat disebut “Asas 1922” adalah sebagai berikut:
a.       Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum.
b.      Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, yang dalam arti lahir dan bathin dapat memerdekakan diri.
c.       Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
d.      Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
e.       Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya lahir maupun bathin hendakalah diusahakan dengan kesatuan sendiri,dan menolak bantuan apa pun dan dari siapa pun yang mengikat, baik berupa ikatan lahir maupun ikatan bathin.
f.       Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.
g.      Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan bathin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak.[2]

2.      Asas Belajar Sepanjang Hayat
            Pendidikan Indonesia bertujuan meningkatkan kecerdasan, harkat, dan martabat bangsa, mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri hingga mampu membangun diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, memenuhi kebutuhan pembangunan dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa (GBHN, 1993:94).
            Gambaran tentang manusia Indonesia itu dilandasi pandangan yang menganggap manusia sebagai suatu keseluruhan yang utuh, atau manusia Indonesia seutuhnya, keseluruhan segi-segi kepribadiannya merupakan bagian-bagian yang tak terpisahkan satu dengan yang lain atau merupakan suatu kebulatan. Oleh karena itu, pengembangan segi-segi kepribadian melalui pendidikan dilaksanakan secara selaras, serasi, dan seimbang. Untuk mencapai integritas pribadi yang utuh harus ada keseimbangan dan keterpaduan dalam pengembangannya.
            Keseimbangan dan keterpaduan dapat dilihat dari segi:
1)     jasmani dan rohani; jasmani meliputi: badan, indera, dan organ tubuh yang lain; sedangkan rohani meliputi: potensi pikiran, perasaan, daya cipta, karya, dan budi nurani,
2)     material dan spiritual; material berkaitan dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang memadai; sedangkan spiritual berkaitan dengan kebutuhan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sedalam-dalamnya dalam kehidupan batiniah,
3)     individual dan sosial; manusia mempunyai kebutuhan untuk memenuhi keinginan pribadi dan memenuhi tuntutan masyarakatnya,
4)     dunia dan akhirat; manusia selalu mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan keyakinan agam masing-masing, dan
5)     spesialisasi dan generalisasi; manusia selalu mendambakan untuk memiliki kemampuan-kemampuan yang umumnya dimiliki orang lain, tetapi juga menginginkan kemampuan khusus bagi dirinya sendiri.
            Untuk mencapai integritas pribadi yang utuh sebagaimana gambaran manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan nilai-niai Pancasila, Indonesia menganut asas pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan sepanjang hayat memungkinkan tiap warga negara Indonesia:
1)     mendapat kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri dan kemandirian sepanjang hidupnya,
2)     mendapat kesempatan untuk memanfaatkan layanan lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masyarakat. Lembaga pendidikan yang ditawarkan dapat bersifat formal, informal, non formal,
3)     mendapat kesempatan mengikuti program-program pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuan dalam rangka pengembasngan pribadi secara utuh menuju profil Manusia Indonesia Seutuhnya (MIS) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
4)     mendpaat kesempatan mengembangkan diri melalui proses pendidikan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989.
            Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Kurikulum yang dapat meracang dan diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horisontal.
Ø  Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa depan.
Ø  Dimensi horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.[3]

3.      Asas Asas Kemandirian dalam Belajar
            Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu suiap untuk ulur tangan bila diperlukan.
            Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalamperan utama sebagai fasilitator dan motifator. Salah satu pendekatan yang memberikan peluang dalam melatih kemandirian belajar peserta didik adalah sitem CBSA (Cara Belajar Siwa Aktif).[4]

B.    PENERAPAN/PENYELENGGARAAN ASAS-ASAS PENDIDIKAN DI INDONESIA
            Sebagaimana telah dibicarakan dalam bahasan terdahulu ada dua asas-asas utama yang menjadi acuan pelaksanaan pendidikan, yakni:
1)     Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan
2)     Asas Tut Wuri Handayani.
             Untuk memberi gambaran bagaimana penerapan asas-asas tersebut di atas berturut-turut akan dibicarakan:
1)     keadaan yang ditemui sekarang,
2)     permasalahan yang ada, dan
3)     pengembangan penerapan asas-asas pendidikan.
1.      Keadaan yang Ditemui Sekarang
            Dalam kaitan asas belajar sepanjang hayat, dapat dikemukakan beberapa keadaan yang ditemui sekarang:
1)     usaha pemerintah memperluas kesempatan belajar telah mengalami peningkatan. Terbukti dengan semakin banyaknya peserta didik dari tahun ke tahun yang dapat ditampung baik dalam lembaga pendidikan formal, non formal, dan informal; berbagai jenis pendidikan; dan berbagai jenjang pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi,
2)     usaha pemerintah dalam pengadaan dan pembinaan guru dan tenaga kependidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang agar mereka dapat melaksanakan tugsnya secara proporsional.
            Dan pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas hasil pendidikan di seluruh tanah air. Pembinaan guru dan tenaga guru dilaksanakan baik didalam negeri maupun diluar negeri ,
(3) usaha pembaharuan kurikulum dan pengembangan kurikulum dan isi pendidikan agar mampu memenuhi tantangan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas melalui pendidikan,
(4) usaha pengadaan dan pengembangan sarana dan prasarana yang semakin meningkat: ruang belajar, perpustakaan, media pengajaran, bengkel kerja, sarana pelatihan dan ketrampilan, sarana pendidikan jasmani,
(5) pengadaan buku ajar yang diperuntukan bagi berbagai program pendidikan masyarakat yang bertujuan untuk:
            (a) meningkatkan sumber penghasilan keluarga secara layak dan hidup bermasyarakat secara berbudaya melalui berbagai cara belajar,
            (b) menunjang tercapainya tujuan pendidikan manusia seutuhnya,
(6) usaha pengadaan berbagai program pembinaan generasi muda: kepemimpinan dan ketrampilan, kesegaran jasmani dan daya kreasi, sikap patriotisme dan idealisme, kesadaran berbangsa dan bernegara, kepribadian dan budi luhur,
(7) usaha pengadaan berbagai program pembinaan keolahragaan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anggota masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatanolahraga untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran serta prestasi di bidang olahraga, (8) usaha pengadaan berbagai program peningkatan peran wanita dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia; peningkatan ilmu pngetahuan dan teknologi, ketrampilan serta ketahanan mental. 
            Sesuai dengan uraian di atas, maka secara singkat pemerintah secara lintas sektoral telah mengupayakan usaha-usaha untuk menjawab tantangan asas pendidikan sepanjang hayat dengan cara pengadaan sarana dan prasarana, kesempatan serta sumber daya manusia yang menunjang.
            Dalam kaitan penerapan asas Tut Wuri Handayani, dapat dikemukakan beberapa keadaan yang ditemui sekarang, yakni
(1) peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan yang diminatinya di sema jenis, jalur, dan jenjang pendidikan yang disediakan oleh pemerintah sesuai peran dan profesinya dalam masyarakat. Peserta didik bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri,
(2) peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan kejuruan yang diminatinya agar dapat mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan kerja bidang tertentu yang diinginkannya, (3) peserta didik memiliki kecerdasan yang luar biasa diberikan kesempatan untuk memasuki program pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan gaya dan irama belajarnya,
(4) peserta didik yang memiliki kelainan atau cacat fisik atau mental memperoleh kesempatan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan cacat yang disandang agar dapat bertumbuh menjadi manusia yang mandiri,
(5) peserta didik di daerah terpencil mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan ketrampilan agar dapat berkembang menjadi manusia yang memiliki kemampuan dasar yang memadai sebagai manusia yang mandiri, yang beragam dari potensi dibawah normal sampai jauh diatas normal (Jurnal Pendidikan,1989)
2.      Masalah Peningkatan Mutu Pendidikan
            Kebijakan peningkatan mutu pendidikan tidak harus dipertimbangkan dengan kebijaksanaan pemerataan pendidikan. Karena peningkatan kualitas pendidikan harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Pendidikan bertujuan membangun sumber daya manusia yang mutunya sejajar dengan mutu sumber daya manusia negara lain.
 Pemerintah mengusahakan berbagai cara dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, antara lain:
(1) Pembinaan guru dan tenaga pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan,
(2) Pengembangan sarana dan prasarana sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi,
(3) Pengembangan kurikulum dan isi pendidikan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta pengembangan nilai-nilai budaya bangsa,
(4) Pengembangan buku ajar sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan budaya bangsa.
            Sesuai dengan uraian diatas secara singkat dapat dikemukakan: dalam menghadapi masalah peningkatan sumber daya manusia sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pemerintah telah dan sedang mengupayakan peningkatan: mutu guru dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana pendidikan, mutu kurikulum dan isi kurikulum sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan nilai-nilai budaya bangsa.
3.      Masalah Peningkatan Relevansi Pendidikan
            Kebijaksanaan peningkatan relevansi pendidikan mengacu pada keterkaitannya dengan: ke-bhineka tunggal ika-an masyarakat, letak geografi Indonesia yang luas, dan pembangunan manusia Indonesia yang multidimensional.
            Pemerintah telah dan sedang mengusahakan peningkatan relevansi penyelenggaraan pendidikan yang efektif dan efisien, seperti :
(1) meningkatkan kemudahan dalam komunikasi informasi antara pusat–daerah, daerah–daerah, agar arus komunikasi informasi pembaharuan pendidikan berjalan lancar,
(2) desiminasi–inovasi pendidikan: kelembagaan’ sumber daya manusia, sarana dan prasarana, proses belajar mengajar yang dilaksanakan secara terpadu, dan
(3) peningkatan kegiatan penelitian untuk memberi masukan dalam upaya meningkatkan relevansi pendidikan.
            Sesuai dengan uraian diatas secara singkat dapat dikemukakan: dalam upaya meningkatkan relevansi pendidikan, pemerintah melakukan berbagai upaya, yakni :
(1) usaha menemukan cara baru dan pemanfaatan teknologi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang beragam,
(2) usaha pemanfaatan hasil penelitian pendidikan bagi peningkatan kualitas kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan
(3) usaha pengadaan ruang belajar, ruang khusus (bengkel kerja, konseling, pertemuan, dan sebagainya) yang menunjang kegiatan pembelajaran.[5]
            Adapun asas-asas pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia, adalah sebagai berikut :
Pendidikan nasional dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas:
1. Asas semesta, menyeluruh dan terpadu
2. Asas pendidikan seumur hidup
3. Asas tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah
4. Asas pendidikan berlangsung dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat
5. Asas keselarasan dan keterpaduan dengan Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara
6. Asas Bhineka Tunggal Ika
7. Asas keselarasan, keserasian dan keseimbangan
8. Asas manfaat, adil, dan merata
9. Asas ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani
10. Asas mobilitas, efisiensi, dan efektivitas
11. Asas kepastian hokum. [6]


















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran untuk menjadi dasar atu tumpuan berfikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Telah dikemukakan berbagai asas tersebut dengan pengkajian berbagai dimensi hakikat menusia keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagaman). Pandangan tentang hakikat manusia merupakan tumpuan berfikir utama yang sangat penting dalam pendidikan.Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu dapat dididik dan dapat mendidik diri sendiri. Pendidikan di Indonesia terdapat sejumlah asas yang memberarah dalam merancang dalam melaksanakan pendidikan.
Asas –asas itu bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan didunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan di Indonesia. Asas-asas tersebut adalah Asas Tut Wuri Handayani, Asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar.

B.     Saran
            Apabila pembaca menginginkan pembahasan makalah Asas-asas penyelenggaraan pendidikan ini lebih detail, kami sarankan  untuk mencari buku referensi lain. Selain itu, diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari – hari.







DAFTAR PUSTAKA

Ø  http://moshimoshi.netne.net
Ø  http://qym7882.blogspot.com
Ø  www.fatamorghana.wordpress.com
Ø  http://makhulmathic.blogspot.com
Ø  www.scribd.com



[1] Hartoto. Landasan dan asas-asas pendidikan serta penerapannya. www.fatamorghana.wordpress.com, diakses 07 Desember 2008

[2] Makhul Owncell, Makalah Asas-asas Pendidikan, http://makhulmathic.blogspot.com, diakses 12 Juni 2011.
[3] Hartoto. Landasan dan asas-asas pendidikan serta penerapannya. www.fatamorghana.wordpress.com, diakses 07 Desember 2008


[4] Hartoto. Landasan dan asas-asas pendidikan serta penerapannya. www.fatamorghana.wordpress.com, diakses 07 Desember 2008



[5] Qym, Asas-asas Pendidikan dan Penerapannya. http://qym7882.blogspot.com, diakses 04 Maret 2009.