Selasa, 06 Juli 2010
makalah asbab wurud al-hadits
2.1 Pengertian Asbab Wurud Al Hadits
Kata Asbab adalah bentuk jamak
dari kata Sabab (Arab: Asbab = sebab). Menurut ahli bahasa diartikan
dengan “Al Habl” (tali) yang menurut lisan arab berarti “saluran” yang
artinya segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda yang
lainnya. Para ahli istilah memaksudkannya sebagai segala sesuatu yang
mengantarkan pada tujuan.
Ada juga yang mendefinisikan dengan, “jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukm itu.”
Adapun arti wurud (sampai, muncul) adalah sebagai berikut:
Para
ahli mengatakan bahwa al-wurud berarti “air yang memancar, atau air
yang mengalir”. Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuthi memaparkan
pengertian asbab wurud al-hadits dengan, “Sesuatu yang membatasi arti
suatu hadits, baik berkaitan, dengan arti umum atau khusus, mutlak atau
muqqayad, dinasakhkan, dan seterusnya, atau suatu arti yang dimaksud
oleh sebuah hadits saat kemunculannya.”
Dari pengertian asbab wurud
al hadits seperti di atas, dapat disimpulkan pengertian ilmu Asbab Wurud
Al Hadits, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Rasulullah
SAW menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda
Rasulullah SAW tentang suci dan mensucikannya air laut, yaitu “Laut itu
suci airnya dan halal bangkainya” . Hadits ini dituturkan oleh
Rasulullah ketika seorang sahabat yang sedang berada di tengah laut
mendapatkan kesulitan untuk berwudhu.
Urgensi Asbab Wurud Al Hadits
terhadap hadits sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan
hadits, sama halnya dengan urgensi Asbab Nuzul Al Qur’an terhadap Al
Qur’an. Penting diketahui, karena ilmu ini menolong kita dalam memahami
hadits, sebagaimana ilmu Asbabu Nuzul menolong kita dalam memahami
Al-Quran.
Tidak semua hadits mempunyai asbabul wurud, sebagian
hadits ada yang mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas na.mun
sebagain lainnya tidak. Untuk kategori pertama mengetahui asbabul wurud
mutlak di perlukan agar terhindar dari kesalafahaman dalam menangkap
maksud hadits .
2.2 Faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits
Dari
definisi yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui faedah-faedah
mempelajari Asbab Wurud Al Hadits,.yakni membatasi arti suatu nash
hadits dalam segi-segi berikut ini:
a. Takhshish al-’ Am (Mentakhsiskan (mengkhususkan) arti yang umum)
Ini terlihat dalam hadits dibawah ini:
“Pahala orang yang shalat dengan duduk, setengah dari shalat orang yang berdiri”.
Makna
yang terkandung dalam hadits ini bersifat umum, untuk semua orang yang
shalat. Padahal kalau kita lihat sebab-sebab lahirnya hadits tersebut
melalui riwayat ‘Abdullah Ibnu ‘Umar yang artinya:
“Kami memasuki
kota Madinah, dan secara mendadak kami diserang perasaan letih yang
demikian hebat. Maka sebagian besar dari kami shalat di tempat shalat
kami masing-masing dengan duduk. Kemudian keluarlah Rasulullah SAW di
terik matahari yang menyengat itu, sementara orang-orang tetap shalat
ditempatnya masing-masing dengan duduk. Lalu beliau pun bersabda:
“Pahala orang yang shalat dengan duduk setengah dari pahala orang yang
shalat dengan berdiri.”
Dari hadits ini jelas bahwa hadits tersebut mengandung maksud khas yang ditujukan kepada mereka yang mampu berdiri.
Sejalan
dengan itu, ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin
Samurah, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat dengan duduk
hanya disaat menjelang wafat beliau”.
Hal serupa itu, kita temukan
pula pada hadits Nabi yang berkenaan dengan pelarangan beliau terhadap
menyewakan ladang-ladang, yang kalau tidak telusuri sebab-sebab
munculnya hadits ini, niscaya kita tetap menetapkan hukum umum pada
hadits tersebut, dan ini pasti akan membuat susah semua orang.
Hadits yang dimaksud diatas, adalah diriwayatkan oleh Ahmad dari Urwah Ibn az-Zubair, ia berkata:
Zaid
bin Tsabit berkata: Semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij, saya,
Demi Allah, adalah orang yang lebih tahu tentang hadits itu.
Sesungguhnya telah datang dua orang yang habis berkelahi kepada
Rasulullah SAW. Maka beliau pun lalu berkata: “Kalau demikian kalian,
maka janganlah kalian menyewakan ladang-ladang”.
b. Taqyid al-Muthlaq (Membatasi arti yang mutlak)
Ini dapat ditemukan dalam hadits berikut:
“Barangsiapa
merintis perbuatan yang baik, lalu diamalkannya, dan diamalkan oleh
orang-orang yang sesudahnya, maka ia akan memperoleh pahala untuk itu,
ditambah pula dengan pahala orang-orang yang mengamalkan sunahnya itu
sesudah ia, tanpa dikurangi barang sedikit pun. Dan barangsiapa merintis
perbuatan jahat, lalu ia kerjakan, dan dikerjakan pula oleh orang-orang
sesudahnya, maka ia akan memperoleh dosa untuk itu, ditambah dengan
dosa-dosa yang melakukan perbuatan itu sesudahnya, tanpa dikurangi
sedikit pun.
“Sunnah” (perbuatan) yang dimaksud hadits tersebut di
atas, baik sifatnya baik maupun buruk, adalah bersifat mutlak, mencakup
perbuatan-perbuatan yang memiliki nash landasan hukum dalam ajaran agama
dan yang tidak ada landasan hukumnya. Lalu sebab-sebab munculnya hadits
ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “sunnah”(perbuatan) dalam
hadits tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang ada nash-nya dalam
Islam.
c. Tafshil al-Mujmal (Merinci yang mujmal (global))
Ini
dapat ditemukan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Anas, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kepada Bilal agar
menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqomah (qamat).
Manthuq(redaksi)
hadits ini tidak sesuai dengan kesepakatan para ulama tentang jumlah
takbir yang empat kali, dan dua kali dalam iqamat.
Akan tetapi
setelah kita temukan sebab-sebab munculnya hadits ini yang diperoleh
dari riwayat Abu Daud dalam sunan-nya, dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya
dari hadits ‘Abdullah bin Zaid maka menjadi jelaslah persoalannya.
Jadi
setelah kita temukan sebab-sebab munculnya hadits ini, nyatalah bahwa
kandungan artinya bersifat mujmal (global), serta menunjukkan prinsip
yang dipegangi para ulama, dalam pandangan mereka tentang mengulang
takbir empat kali dalam adzan, dan dua kali dalam iqamat.
d. Menentukan persoalan “naskh” dan menjelaskan nasikh dan mansukh
Hal seperti ini ditemukan dalam hadits sebagai berikut:
“Imam
itu untuk diikuti, oleh sebab itu janganlah kamu sekalian
mendahuluinya. Jika ia takbir, maka takbirlah kamu sekalian, dan jika ia
ruku’,ruku’ pulalah kalian. Dan manakala ia megucapkan “sami’allahu
liman hamidah” maka ucapkanlah:” Allahumma Rabbana lakal hamd”. Lalu
jika ia sujud, maka sujudlah kamu sekalian, dan kalau ia shalat dengan
duduk, maka shalat pulalah kamu sekalian dengan duduk”.
Tentang
hadits tersebut di atas, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadits ini
dihapus (mansukh) oleh hadits lain yang diterima dari Aisyah yang
menyatakan bahwasanya Rasulullah SAW shalat bersama kaum Muslimin pada
saat beliau sakit menjelang wafatnya dengan duduk, sedangkan kaum
Muslimin shalat dengan berdiri”.
Padahal Asbab Wurud Hadits ini jelas meniadakan hukum naskh (penidakberlakuan) pada hadits tersebut.
Imam
Muslim dalam Shahih-nya mengeluarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Anas, ia berkata: “Nabi SAW terjatuh dari kudanya sehingga terkelupas
kulit betis beliau yang sebelah kanan. Kami lalu menjenguk beliau dan
waktu shalat pun tiba. Maka beliau lalu mengimami shalat bersama kami
dengan duduk, sedangkan kami tetap shalat dengan duduk pula. Dan seusai
shalat, beliau bersabda:
“Sesungguhnya Imam itu untuk diikuti, oleh
sebab itu janganlah kamu sekalian mendahuluinya. Jika ia takbir, maka
takbirlah kamu sekalian, dan jika ia ruku’,ruku’ pulalah kalian. Dan
manakala ia megucapkan “sami’allahu liman hamidah” maka ucapkanlah:”
Allahumma Rabbana lakal hamd”. Lalu jika ia sujud, maka sujudlah kamu
sekalian, dan kalau ia shalat dengan duduk, maka shalat pulalah kamu
sekalian dengan duduk”.
Dengan tiada naskh ini, maka berlaku pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal yang mempertemukan dua hadits tersebut dengan
mengemukakan dua alternatif berikut:
Pertama : Manakala imam yang
biasa diikuti itu memulai shalatnya dengan duduk lantaran sakit yang
masih bisa diharapkan kesembuhannya, maka saat itu makmum harus shalat
dengan duduk.
Kedua : Kalau imam yang diikuti itu sejak semula shalat
dengan berdiri, baik dalam kenyataannya nanti ia shalat dengan duduk
ataukah berdiri, lantaran sakit yang tidak bisa diharapkan
kesembuhannya seperti yang terdapat dalam hadits yang berkenaan dengan
sakit beliau menjelang wafatnya. Ketetapan yang diberikan oleh
Rasulullah SAW agar para sahabatnya tetap shalat dengan berdiri di saat
beliau sakit menjelang wafatnya itu, membuktikan bahwa Nabi tidak
memerintahkan mereka shalat dengan duduk, sebab saat itu Abu Bakar
memulai shalatnya dengan berdiri, yang berbeda dengan situasi yang
terdapat dalam hadits pertama dimana shalat itu dimulai dengan duduk,
yang karena itu pula di saat para sahabat shalat dengan berdiri, beliau
pun melarangnya.
Sejalan dengan itu, asy-Syaukani menegaskan pendapatnya dengan mengatakan:
“Mempertemukan
kedua hadits itu (al-jam’u)menguatkan pendapat bahwa secara prinsipil
tidak ada naskh disini, apalagi dalam keadaan ini diberlakukan dua kali
naskh, sebab dalam prinsipnya seorang yang mampu shalat sambil berdiri
tidak dibenarkan shalat dengan duduk. Pendapat di atas telah
menidakberlakukan shalat makmum yang duduk di belakang imam yang duduk,
lalu sesudah itu, ia dinaskh pula dengan hadits lain yang melarang
shalat dengan duduk, sehingga terjadi dua kali penidakberlakuan, dan ini
jelas tidak mungkin bisa diterima.
e. Menerangkan ‘illat (alasan) suatu hukum
Hal
seperti ini dapat ditemukan misalnya dalam hadits yang berkenaan dengan
pelarangan Rasulullah SAW terhadap minum air langsung dari mulut
bejana.
Adapun sebabnya adalah : Suatu saat disampaikan kepada
Rasulullah bahwa ada seorang laki-laki minum langsung dari mulut bejana,
lalu ia pun sakit perut (mules-mules). Maka beliau pun lalu melarang
minum langsung dari mulut bejana.
f. Menjelaskan Kemusykilan
Ini dapat ditemukan dalam hadits berikut ini:
“Barangsiapa yang mempercayai “perhitungan”, niscaya disiksa di hari kiamat”.
Adapun sebab-sebab munculnya hadits ini adalah bahwa Aisyah meriwayatkan, ia berkata:
“Rasulullah
SAW bersabda: Barangsiapa yang dihisab, niscaya ia disiksa di hari
kiamat. Lalu Aisyah berkata: “Bukankah Allah berfirman: “Maka ia akan
dihitung dengan perhitungan yang mudah”? Dan beliau menjawab: “Bukan,
itu hanya formalitas”. Jadi, “Barangsiapa dihisab, ia akan disiksa”.
Dari uraian faedah-faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits di atas dapat disimpulkan antara lain, sebagai berikut:
1.
Untuk menolong memahami dan menafsirkan hadits. Sebab sebagaimana
diketahui bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu
merupakan sarana untuk mengetahui musabab (akibat) yang ditimbulkannya.
Seseorang tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu hadits secara tepat,
tanpa mengetahui sebab-sebab dan keterangan-keterangan tentang latar
belakang.
2. Sebagaimana diketahui dalam lafadz nash itu
kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang bersifat umum, sehingga untuk
mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang men-takhsiskannya.
Akan tetapi dengan diketahui sebab-sebab lahirnya nash itu, maka takhsis
yang menggunakan selain sebab, harus dihilangkan. Sebab memasukkan
takhsis yang terbentuk sebab ini adalah qath’i, sedang mengeluarkan
takhsis sebab, adalah terlarang secara ijma’.
3. Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat (hukum-hukum)
4.
Untuk mentakhsiskan hukum, bagi orang yang berpedoman kaidah
Ushul-Fiqih “al-‘ibratu bikhusushi’s sabab” (mengambil suatu ibarat itu
hendaknya dari sebab-sebab yang khusus). Biarpun menurut pendapat
Ushuliyun berpedoman dengan “al-‘ibratu bi’umumi’l-lafadh, la
bikhususi’s sabab”(mengambil suatu ibarat itu hendaknya berdasar pada
lafadz yang umum, bukan sebab-sebab yang khusus).
2.3 Cara mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits
Di
antara maudlu’ pokok dalam ilmu Asbab Wurud Al Hadits, ialah
pembicaraan tentang cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya
hadits.
Cara-cara mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu hanya dengan jalan riwayat saja. Karena tidak ada jalan lain bagi logika.
Menurut
penelitian Al Bulqiny, bahwa sebab-sebab lahirnya hadits itu ada yang
sudah tercantum di dalam hadits itu sendiri dan adapula yang tidak
tercantum dalam hadits sendiri, tapi tercantum di hadits lain.
Menurut As-suyuthi ada tiga metode dalam mengetahui asbabul wurud:
1. Dengan mengetahui sebab yang berupa ayat Al-Quran.
2. Sebab yang berupa hadits itu sendiri.
3. Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat
Sebagai contoh Asbab Wurud Al Hadits yang tercantum dalam hadits itu sendiri, seperti hadits Abu Dawud yang tercantum dalam kitab sunannya, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudry. Kata Abu Sa’id:
“Bahwa beliau
pernah ditanya oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan
Rasulullah SAW : ‘Apakah Tuan mengambil air wudhu’ dari sumur Budla’ah,
yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing, dan barang-barang
busuk’? Jawab Rasulullah: ‘Air itu suci, tak ada sesuatu yang
menjadikannya najis’.”
Sebab Rasulullah saw. bersabda, bahwa air itu
suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang
bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan
itu dilukiskan dalam rangkaian hadits itu sendiri.
Contoh Asbab
Wurud yang tidak tercantum dalam rangkaian hadits itu sendiri, tetapi
diketahui dari hadits yang terdapat di lain tempat yang sanadnya juga
berlainan, seperti hadits Muttafaq-‘alaih tentang niat dan hijrah, yang
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar r.a:
“...Barangsiapa yang hijrahnya
karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang bakal
dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada yang diniatkannya saja.”
Asbab
Wurud dari hadits tersebut di atas, kita temukan pada hadits yang di
takhrijkan oleh At-Thabrany yang bersanad tsyiqoh dari Ibnu Mas’ud r.a
ujarnya:
“Konon pada jama’ah kami terdapat seorang laki-laki yang
melamar seorang perempuan yang bernama Ummu Qais. Tetapi perempuan itu
menolak untuk dinikahinya, kalau laki-laki pelamar itu enggan berhijrah
ke Madinah. Maka ia lalu hijrah dan kemudian menikahinya. Kami namai
laki-laki itu, Muhajir Ummi Qais.”
2.4 Pembagian Asbab Wurud Al Hadits
Dengan mengikuti uraian tentang Asbab Wurud munculnya suatu hadits, dapat disimpulkan bahwa penyebab-penyebab itu terbagi dalam beberapa bagian berikut ini:
Bentuk Pertama: Berupa Ayat Al Qur’an
Hal ini
disebabkan turunnya ayat-ayat Al Qur’an yang memiliki bentuk umum, namun
yang dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus semisal yang
terdapat dalam firman Allah ini:
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS Al An’am:82)
Sementara sahabat Rasulullah saw
memahami ayat ini dengan menganggap bahwasanya yang dimaksud dengan
“zhulm” (dzalim) di situ adalah aniaya dan melanggar batas ajaran agama.
Lantaran itulah mereka lalu mengadu kepada Rasulullah saw, maka beliau
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan itu adalah “syirik” (menyekutukan
Allah).
Imam Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Malik dalam Al Muwatha’ meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud:
“Ketika turun ayat: “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur adukkan keimanan dengan kezhaliman...”(QS Al An’am:82 di
atas), maka para sahabat merasa berat dan berkata: “Siapa pula diantara
kita yang tidak merasa mencampur adukkan keimanan dengan kedzaliman?”
Lalu Rasulullah mengatakan: “Bukan itu maksudnya, tidakkah kamu sekalian
pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya bahwa: sesungguhnya
syirk itu adalah kedzaliman yang amat besar” (QS. Luqman:13)
Atau lantaran adanya kemusykilan yang membutuhkan penjelasan, semisal hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah terdahulu.
Bentuk kedua : Berupa Hadits
Ini
dapat ditemukan dalam ucapan Rasulullah saw yang sulit dipahami oleh
sementara sahabat, lalu beliau menjelaskannya melalui hadits lain yang
menjawab kemusykilan itu. Untuk menjelaskan hal itu dikemukakan sebuah
hadits yang dikeluarkan oleh Al Hakim dari Anas ra. Katanya:
“Sesungguhnya
Allah mempunyai malaikat-malaikat di dunia yang berbicara melalui lisan
anak-cucu Adam tentang apa yang baik dan buruk dalam diri seseorang.”
Hadits
yang bentuk redaksinya seperti ini sangat sulit dipahami, sebab
bagaimana cara malaikat itu berbicara di dunia tentang baik dan burunya
seseorang. Oleh sebab itu, sebab-sebab munculnya hadits lain di bawah
ini, mengandung maksud menjelaskan kemusykilan itu.
“Dari Anas ra.
Katanya: Tatkala ada prosesi jenazah lewat dihadapan beliau dan para
sahabat memuji-muji kebaikan orang yang meninggal itu. Maka Rasulullah
saw berkata: “Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”. Lalu
lewat pulalah jenazah yang lain dan para sahabat membicarakan
kejelekan orang yang meninggal itu. Maka Rasulullah saw pun berkata
pula:”Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”
Mendengar
itu para sahabat lalu bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah apa makna
ucapan tuan tentang jenazah tadi? Ketika yang seorang dipuji kebaikannya
dan seorang lagi disebut-sebut keburukannya, tuan mengatakan: Ya, mesti
demikian, mesti demikian, mesti demikian.”
Maka Rasulullah saw menjawab:
“Memang
benar Ya Abu Bakar, Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat di
dunia yang berbicara melalui lisan anak-cucu Adam tentang apa yang baik
dan buruk dalam diri seseorang.”
Bentuk Ketiga: Merupakan persoalan yang berkenaan dengan penjelasan bagi para sahabat yang mendengarkan saat itu.
Ini
dapat ditemukan misal dalam persoalan yang berkenaan dengan As Suraid
yang datang kepada Rasulullah saw ketika pembebasan kota Makkah (Fath
Makkah) lalu berkata kepada beliau: “Saya bernadzar manakala Allah
memberikan keberhasilan kepada tuan dalam membebaskan kota Makkah, saya
akan shalat di Baitul Maqdis”. Mendengar itu Rasulullah pun berkata:
“Shalat di sini jauh lebih baik”. Kemudian beliau mengatakan:
“Demi
dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau seandainya engkau
shalat di mesjid ini, niscaya diperbolehkan”. Lalu selanjutnya beliau
berkata pula: “Shalat di mesjid ini (Masjidil Haram) seratus ribu kali
lipat lebih baik dibanding shalat di mesjid-mesjid lain.”
Bila ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadits satu sama lain, maka “Wurud al Hadits” ini dapat dibagi dalam dua jenis:
Bila Asbab Wurud al Hadits ini bersambung dengan haditsnya, maka ia
dinukil dari hadits itu. Tentang ini, Al Balqini mengatakan mengatakan:
semisal hadits yang berkenaan dengan pertanyaan malaikat Jibril.
Bila “Wurud al Hadits” nya terpisah dari hadits itu, maka ia dinukil
melalui jalan yang lain. Tentang ini Al Balqini mnegatakan pula : Dan
keadaan semacam inilah yang mesti diperhatikan dengan cermat. Lalu
dicontohkannya hadits “al-kharaj” (pajak tanah) dengan adh-dhiman
(jaminan).
2.5 Sejarah Asbab Wurud Al Hadits
Memperhatikan atsar (data) yang diperoleh dari para ulama salaf, semenjak masa sahabat sampai masa kita dewasa ini, jelaslah sudah bahwa ilmu itu terhitung telah lama ada
Kuat dengan bahwasanya ilmu ini telah ditanamkan benih-benihnya di masa sahabat dan tabi’in.
Kisah
yang dituturkan oleh Az Zarkasyi dalam al Burhan-nya yang berkenaan
dengan firman Allah: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal sholeh lantaran telah memakan makanan mereka dulu” (QS
Al Maidah: 92) makin memperjelas kenyataan itu .
Az Zarkasyi
menuturkan, disebut –sebut bahwa Qudamah bin Mazh’un dan Amr’ bin
Ma’dikarib berkata: Khamr itu mubah dan mereka berdua beralasan dengan
ayat tersebut di atas yang mereka ketahui sebab turunnya ayat tersebut,
yang sesungguhnya menolak pendapat mereka yakni, apa yang dikemukakan
oleh al Hasan dan ulama lainnya berikut ini:
“Di saat turun ayat yang
mengharamkan khamr, para sahabat bertanya-tanya: “Bagaimana halnya
dengan saudara-saudara kita yang telah meninggal dan mereka pernah minum
khamr, sedangkan Allah telah mengemukakan bahwa khamr itu haram”. Maka
Allah pun menurunkan ayat:” Tidak ada dosa bagi orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang shalih lantaran telah memakan makanan
mereka dulu” (QS. Al Maidah:92)
Bertolak dari riwayat tersebut, maka
jelaslah kebenaran pernyataan As Sayuthi, yakni bahwasanya objek kajian
ini merupakan salah satu di antara Ilmu-ilmu Hadits yang sejak awal
telah memperoleh perhatian baik dari para ulama.
Mengenai kapan
dimulainya penyusunan buku-buku yang berkenaan dengan masalah ini, maka
hal itu merupakan suatu persoalan yang hanya dapat kita jawab melalui
referensi-referensi yang mat langka sekali, sebab Thas Kubri Zadah
penulis kitab Miftah al Sa’adah menuturkan bahwa ada beberapa karya
tulis dalam disiplin ilmu ini, namun ia sendiri belum pernah melihatnya.
Hanya saja, As Sayuti menuturkan dengan menukil adz Dzahabi dan Ibnu Hajar yang menyatakan adanya beberapa obyek ini, yakni:
1. Karya Abi Hafsh al Akbari (wafat 399 H) yang sampai saat ini belum diketahui sdikitpun kecuali hanya namanya saja.
2. Karya Abu Hamid Abdul Jalil al Jubari yang juga sampai saat ini hanya diketahui namanya saja.
Dalam
point yang dikemukakan oleh As Sayuti yang berkenaan dengan jenis-jenis
ilmu, yakni dalam “jinis ke-89” disebut-sebut ilmu “Asbab Wurud al
Hadits” (Sebab Lahirnya sebuah Hadits): Cabang ilmu ini disebutkan al
Balqini dalam Mahasin al Ishtilah dan oleh Syeikhul Islam dalam
an-Nukhah, dimana dalam ilmu ini ada karya Abu Hafs al Akbari dan Abu
Hamid bi Kutah al Jubari, dan tidak ada yang lebih tua lagi dari karya
itu.
3. Karya As Sayuti, al- Luma’ Fi Asbab Wurud al Hadits, yakni risalah yang kami edit dan kaji ini.
4. Karya Abi Hamzah al Dimayqi, al Bayan Wa at-Ta’rif Fi Asbab Wurud al Hadits asy-Syarif.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Asbabul Wurud : ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu.
Faedah
Asbab Wurud al Hadits, antara lain mentakhsis arti umum, membatasi arti
yang mutlak, menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan
kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.
Cara-cara mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu hanya dengan jalan riwayat saja. Karena tidak ada jalan lain bagi logika.
Pembagian atau bentuk-bentuk Asbab Wurud al Hadits :
Bentuk Pertama: Berupa Ayat Al Qur’an
Bentuk kedua : Berupa Hadits
Bentuk Ketiga: Merupakan persoalan yang berkenaan dengan penjelasan bagi para sahabat yang mendengarkan saat itu
Memperhatikan atsar (data) yang diperoleh dari para ulama salaf, semenjak masa sahabat sampai masa kita dewasa ini, jelaslah sudah bahwa ilmu itu terhitung telah lama ada
DAFTAR PUSTAKA
Al hafidz Jalaludin As-Sayuthi. 1406 H-1985 M. “Asbab Wurud Al-Hadits Proses Lahirnya Sebuah Hadits”. Bandung: Pustaka
Fatchur Rahman, 1974.”Ikhtisar Musthalahu’l Hadits”.Bandung:PT Al Ma’arif
Mudasir &Maman Abdul Djaliel.1999.”Imu Hadits”.Badung:CV.Pustaka setia
Munzier Suparta&Utang Ranuwijaya.1996.”Ilmu Hadits”.Jakarta:PT. Raja Gafindo Persada
Muhamad Ahmad&M.Mudzakir.2000.”Ulumul Hadis”.Bandung:CV Pustaka Setia
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--sitifatima-2712
http://insansejati.com/ilmu-hadits/54-asbabul-wurud.html
http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/56
http://kampungsunnah.org